SALAM

Salam selamat datang buat yang telah bersedia meluangkan waktu yang sangat berharga untuk melongok blog ini serta terima kasih buat yang bersedia meninggalkan catatan berupa komentar, saran dan pendapat pada kolom yang telah disediakan.


joe
http://www.joeoflife.blogspot.com/

Sabtu, 27 Juni 2009

Rebutan Pasien !!!


Koran yang gw baca pertama kali tiap pagi adalah koran "Kompas". Nih koran emang bacaan kudu en wajib sejak gw SD kali yah... **bukan iklan nih tapi emang faktanya seperti itu**.

Dari informasi yang jumlahnya bejibun gw perhatiin hampir beberapa lama ini (mungkin sejak tahun 2008), koran "Kompas" sering banget menampilkan informasi kesehatan / kedokteran, baik dalam bentuk tulisan atau iklan (ini di luar kasus Prita Mulyasari lho).

Beberapa tulisan / artikel di Kompas sempat membuat gw terhenyak memahami mengenai dunia kesehatan / kedokteran kita. Artikel tersebut adalah :
  1. Rumah yang sakit ( http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/14/04334666/rumah.yang.sakit ); dan
  2. Malu aku jadi dokter Indonesia ( http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/25/0326331/malu.aku.jadi.dokter.indonesia )
  3. Orang Miskin dilarang Sakit ( http://kesehatan.kompas.com/read/xml/2009/06/26/11571084/Orang.Miskin.Dilarang.Sakit )

Kenapa sampai gw bisa terhenyak setelah baca tulisan di Kompas itu, karena gw sebetulnya mendapat pengalaman yang justru sangat berbeda dan bertolak belakang dari apa yang gw baca dari artikel kompas. Pengalaman gw yaitu sebagai berikut :
  1. Pengalaman ketika almarhum Daddy **duh gaya manggilnya** sakit dan operasi besar, gw sekeluarga merasa pelayanan Rumah Sakitnya, khususnya dokternya, sangat baik. Bahkan ada dokter ahli senior yang bersedia memberitahukan nomor HPnya pasca melakukan operasi dan bersedia dihubungi keluarga selama 24 jam selama pemulihan di RS **itu baru sebagian kecil cerita**
  2. Pengalaman kedua, adalah pengalaman gw sendiri datang ke dokter untuk minta pengantar check-up dan dokter tersebut nggak mau dibayar (padahal gw nggak kenal nih dokter). ** pengalaman ini udah pernah gw muat di http://wahjoejkt.blog.friendster.com/2008/11/uncommercial-doctor/ **


Sekarang ini era globalisasi, dimana dunia "tidak lagi memiliki batasan", untuk segala urusan termasuk yang namanya layanan kesehatan. Hal ini kelihatan dari seringnya orang Indonesia berobat ke Singapura dan Malaysia. Padahal katanya harga layanan kesehatan di sana terbilang nggak murah. Gw juga punya informasi bahwa saat ini layanan kesehatan di Thailand juga jadi salah satu tujuan karena harga berobat di Thailand cenderung sama atau bahkan sedikit lebih murah di Indonesia **artinya cuma butuh nambah biaya ekstra untuk airplane dan akomodasi buat yang nungguin doang**. Terakhir ini gw sering banget (hampir tiap hari malah) rumah sakit di RRC mengiklankan diri untuk pengobatan kanker, jantung, gagal ginjal dan sebagainya ** coba baca di kompas bagian Klasika (Klasifikasi Iklan)**. Cuma sayangnya nggak terinformasi biaya berobat di RRC tersebut. Selain itu, gw juga memprediksi, nggak akan lama lagi India bakal jadi salah satu tempat layanan kesehatan dan nggak tertutup kemungkinan bakal tiap hari pasang iklan di koran juga.

Akibatnya, nggak heran kalau akhirnya layanan kesehatan dan dokter di Indonesia harus versus layanan kesehatan dan dokter di Luar Negeri harus saling berebut pasien.

Yang jadi masalah buat gw, ternyata rebutan pasien ini bukan hanya disebabkan serbuan pihak asing. Rebutan pasien ini juga terjadi di antara para dokter di Indonesia. Pengalaman my mother membuktikan itu. Jadi ceritanya my mother harus kontrol ke dokter ahli tulang karena ada permasalahan dengan dengkul sendinya. Dokter ahli tulang sudah menyarankan agar rajin kontrol ke tempat praktiknya (di salah satu RS rujukan pemerintah karena pakai Askes) .
Nah karena my mother ikut program askes, tentunya harus sering memperpanjang rujujan (rekomendasi) dari puskesmas yang umurnya cuma 2-3 bulan. Dan terjadilah peristiwa yang membuat gw yang denger pengalaman dari my mother ketika minta rujukan. Begini kurang lebih ilustrasinya:

MM : Selamat pagi dok
Odr : Selamat pagi bu
MM : begini dok, rujukan saya habis padahal saya diminta dokter tulang untuk kembali kontrol kalau obat tulangnya sudah habis, saya minta rujukan untuk ke dokter tulang di RS XYZ dok..
Odr : emang sakit apa bu ?
MM : ini dok, dengkul sendi saya sakit kalau buat jalan.
Odr : dulu udah ke dokter tulang dikasih resep obat apa ?
MM : wah nggak tahu dok....
Odr : saya nggak bisa kasih rujukan bu... ibu berobat aja di sini dulu... kalau cuma begitu saya juga bisa ngobatin kok.. kalau ibu bawa copy resepnya atau inget obatnya juga nggak apa2x... nanti biar saya salinkan aja....
MM ; wah mana saya tahu dok, wong saya bukan dokter dan sudah sepuh... lupa dok...
Odr : yah sudah saya kasih rujukan, tapi besok lagi kalau obatnya habis aja sih nggak usah minta rujukan bu...

Catatan : MM = My Mother; Odr : Oknum dokter (di salah satu puskesmas)


Busyet, gw denger cerita nyokap gw rasanya pingin nuntut pidana dan perdata tuh dokter **jiwa lawyernya keluar deh**.

Bukan apa2x, wong udah jelas dokter tulangnya bilang suruh kembali untuk kontrol, eh kok malah dipersulit. Terus maksudnya apa disuruh bawa copy resep dan tinggal nyalin obatnya ?? atau dikira MM berbohong demi minta rujukan ?? bener2x tuh kelakuan Begini lah kalau dokter punya jiwa birokrat... segala sesuatu yang mudah jadi dipersulit deh.. Harusnya khan tuh dokter tahu, bahwa MM udah sepuh yang artinya bahkan harus memperoleh layanan khusus di tempat yang namanya klinik Geriatri **which is nggak semua RS besar punya **... eh ini malah dipersulit untuk minta rujukan !!!

Entahlah gw harus ngenes atau bangga nih kalau pasien jadi rebutan dan itu menimpa keluarga yang sangat gw cintai ??

Semoga teman2x dan sahabat gw yang punya profesi dokter tidak meniru mentalitas oknum dokter birokrat tersebut dan semoga dapat memberi layanan kepada masyarakat dengan baik, sehingga dapat bersaing dengan cara yang sehat di era globalisasi ini. Dan ingat selalu sumpah dokter. Selamat berkarya.




Gambar ilustrasi diambil dari clip art Microsoft Power Point


4 komentar:

Vicky mengatakan...

Walah..nih cerita kan udah kau kasih spoilernya ke gw 2 bulan lalu, lama bener sih dirilis full news-nya!

Kemungkinannya sebenarnya begini:
1. Kolega gw menyangka sang Tante cuman sakit osteoartritis. Memang pasien boleh berobat osteoartritis ke dokter umum, dan pasti jauh lebih meringankan pasien. Jadi maksudnya kolega gw ini mau meringankan beban berobat pasien.
Kendala muncul karena sang Tante sama sekali tidak dapat memberikan kolega gw bayangan tentang penyakit macam apa yang menyerang lutut Tante tersebut sampai-sampai hanya boleh ditangani spesialis ortopedi.

2. Dari dulu yang namanya rujukan Askes itu selalu berbelit-belit. Prinsipnya, kalo dokter di Puskesmas merasa mampu menangani pasien, maka perujukan ke rumah sakit tidak boleh dibenarkan, karena akan memberatkan PT Askes itu sendiri. Dokter-dokter yang masih idealis mempercayai itu, jadi mereka akan pegang pasien mereka erat-erat sampai mereka tidak mampu menolong pasien itu lagi. Jadi untuk "mengantisipasi" dokter umum yang idealis ini, dokter spesialis perlu mengomunikasikan kepada dokter umum supaya tidak menahan pasien yang mestinya dibawa ke spesialis. Itulah pentingnya diisi kolom diagnosa oleh dokter spesialis pada formulir peserta Askes yang tiga rangkap itu.

It's Me Joe mengatakan...

@ Vicky :
Yang jadi masalah dokter specialis ndak mengkomunikasikan hal itu ke my mother.... apalagi my mother udah sepuh...

betul untuk yang case my mother gw udah pernah cerita meski nggak utuh... Sebetulnya ada lebih dari 1 pesan / message kok dari tulisan ini selain masalah pengalaman my mother. Pasti dirimu sangat cerdas untuk mengetahui message apa dari tulisan ini kenapa dikasih judul Rebutan Pasien.

Daffodil mengatakan...

kalo dari sisi dokternya, ada berbagai sebab knapa hal hal tsb terjadi, bisa jadi kayak si Vicky bilang. adek gue dokter juga, jadi sdikit banyak gue tau.

tapi dokter juga manusia, ada yg memilih bertindak bukan karena idealisme.

sebagai pasien, kita tetap harus tahu hak hak sebagai pasien dan jadilah pasien yang 'kritis' dan cergas dalam menyikapi permintaan dr RS atau dokter. bertanya adalah hak pasien, kalo ngga bisa dibilang wajib.

itulah yg gue kerjakan selama ini karena bokap, nyokap dan adek sering banget keluar masuk rumah sakit.

anyway, artikel ini emang bisa jadi pembuka mata bagi banyak kalangan. perlu karena memang bermanfaat, tetapi untuk sebagian kalangan(misalnya di pedesaan yg masyarakatnya kurang dapat pengetahuan ttg kedokteran dll), harus juga dibarengi dengan pengetahuan tentang pengalaman pengalaman yang lain agar dapat diperoleh kesimpulan yang obyektif. :-)

It's Me Joe mengatakan...

@ Daff : Sorry baru publishin komentar, karena baru sempat jenguk blog ini.

Beruntunglah konsumen (baca :pasien) yang punya kemampuan mengkritisi pelayanan kesehatan di Indonesia. But mostly banyak orang yang nggak punya itu, selain karena tidak punya pengalaman, tidak punya knowledge dsbnya.